Blog untuk masyarakat lumajang, yang menampilkan berbagai budaya kota lumajang dan informasi - informasi terbaru yang lebih bermanfaat.

Senin, 29 Agustus 2011

Takbir Hari Raya Idul Fitri


وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“…dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (QS. Al-Baqarah, 185)


Ayat tentang shaum digandengkan dengan syariat lainnya, yaitu: syari’at qisash (QS. Al-Baqarah, 178), syari’at washiat ketika maut menjemput (QS. Al-Baqarah, 180), syi’ar berdo’a (QS. Al-Baqarah, 186), syi’ar I’tikaf (QS. Al-Baqarah, 187), dan larangan untuk memakan makanan yang bukan milik kita (QS. Al-Baqarah, 188). Dalam syari’at qishash, Al-Quran menegaskan tujuannya yaitu, “…agar menjadi orang yang bertaqwa”. Begitu juga dalam ayat washiat, “…washiat adalah hak bagi yang bertaqwa”. Dalam ayat shaum –seperti juga banyak diketahui banyak orang, “..(shaum itu adalah) agar kalian bertaqwa”. Setelah menyelangnya dengan syiar do’a sebagai media sekaligus karakteristik orang bertaqwa, “…agar kalian mendapat petunjuk”, dalam akhir ayat I’tikaf, Allah kembali menegaskan, “…agar mereka bertaqwa”.



Rangkaian ayat-ayat taqwa di atas bukan merupakan kebetulan. Ayat di atas menunjukkan pada syariat yang komprehensif mengenai aturan dan pedoman hidup individu maupun sosial bermasyarakat, yang tumbuh dari kâidah al-tasyrî’iyyah (undang-undang) yang lengkap dengan ritual ibadah yang bertolak dan berujung kepada Allah SWT. Syari’at ini merupakan upaya pembangunan manusia dan kemanusiaan secara utuh secara aktif. Sehingga dengan pelaksanaannya secara istiqomah akan menjaga kemungkinan-kemungkinan timbulnya penyakit masyarakat, baik itu berupa “mentalitas dan persepsi sampah”, seks bebas, hingga perampasan hak milik orang lain dan merendahkan nilai nyawa manusia dengan praktik-praktik pembunuhan. Rangkaian ayat ini seolah-olah memberikan alasan tegas mengapa kita wajib mengangungkan Allah seperti termaktub dalam ayat di atas, “…dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (QS. Al-Baqarah, 185).




Ayat-ayat qishash menunjukkan pada aspek kewajiban syari’at untuk dilaksanakan dan tidak boleh diabaikan. Sehingga dalam ayat berikutnya, Allah mengajak kita untuk berfikir dan mentadabburi hikmah syari’at qishsash. “Dan bagi kalian, sesungguhnya dalam aturan qishash itu ada kehidupan”. Syari’at qishash niscaya akan menghadirkan keamanan sosial. Jiwa manusia dipandang dengan sangat berharga sehingga jika sekali saja tertumpah darah manusia dengan sengaja, maka bayarannya adalah jiwa lagi. Dengan qishash kita tidak membiarkan para pembunuh bebas berkeliaran untuk melakukan upaya-upaya pembunuhan lainnya. Dengan syari’at qishash, amarah pihak yang teraniaya dilindungi oleh syari’at dan tidak membiarkannya main hukum sendiri. Sebab dalam Islam, menjaga kehidupan satu orang berarti menghidupakan seluruh orang! Sebaliknya, jika qishash dianggap berbahaya seraya diabaikan dalam aturan kehidupan manusia, maka sesungguhnya kita sedang menanam bom kematian.


Selain qishash, Allah mengatur hak dan kewajiban yang meninggal serta stigma dosa bagi orang yang hendak menyelewengkan wasiat yang telah ditulis oleh si mati. “Apabila telah hadir kepada kalian kematian”. Para mufassir memiliki banyak ragam pendapat. Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya menjelaskan yaitu, “Apabila telah hadir sebab dan tanda kematian”, baik itu berupa sakit, berusia lanjut, maupun terpidana hukuman qishah. Diriwayatkan dari Ali, ‘Aisyah, dan Ibnu ‘Abbas bahwa tidak wajib melakukan washiat, kecuali jika memiliki harta yang melimpah. Sedangkan harta yang diwashiatkan sebesar al-ma’ruf, yaitu sesuai dengan dipahami masyarakat waktu itu, sehingga Al-Quran tidak perlu merinci berapa ukuran washiat itu. Hanya saja, takaran yang ma’ruf adalah tidak memadharatkan ahli warits.


Kaitan qishash dan washiat sangat jelas. Bahwa jika qishash menghadirkan kehidupan dengan menjaga kehidupan dan memberi kifarat perusak kehidupan dengan meng-qishash-nya, maka washiat adalah memberikan kehidupan dengan menginfakkan harta yang melimpah. Sehingga faktor-faktor terjadinya pembunuhan –yang disinyalir banyak terjadi akibat harta, dapat dijaga dengan syari’at washiat. Selain itu, kematian bagi semua orang adalah niscaya sehingga kita tidak perlu mengkhawatirkannya. Namun nasib kita di akhiratlah yang perlu kita khawatirkan. Sehingga menghidupkan kerabat dan keluarga dengan memberikan mereka harta wasiat adalah bagian dari jaminan kehidupan kita di akhirat. Selain itu, washiat merupakan salah satu sistem untuk menjaga keturunan dari ancaman kemiskinan –yang saat ini disinyalir sebagai faktor pertama penyebab pembunuhan! Rasulullah bersabda, “Apabila manusia meninggal, terputuslah amal-amalnya kecuali tiga perkara: shadawah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak sholih yang berdoa untuknya” (HR. Muslim, Abu Daud, Ibnu Majah, dan Ahmad).


Oleh sebab itu, wajarlah jika ingin menyempurnakan pembangunan masyarakat yang sadar akan betapa berharganya nyawa seseorang, betapa nistanya perbuatan pembunuhan, betapa mengkhawatirkannya nasib manusia di akhirat, dan betapa banyaknya manfaat dari harta melimpah yang kita miliki untuk pembangunan masyarakat itu, maka Allah syari’atkan ibadah shaum di bulan ramadhan.


Ramadhan yang berasal dari lafadz ra-ma-dha (sangat panas) yang menunjukkan pada epistemologi Islam sebagai sebuah gambaran penggemblengan mentalitas manusia bertauhid, maka ramadhan yang berasal dari lafadzh ra-mi-dha (sangat tenang) merupakan aksiologi Islam yang berarti ketenangan yang sangat personal di satu sisi serta kemakmuran yang bersifat sosial di sisi lain, merupakan tujuan dari disyari’atkannya shaum ramadhan. Dari makna redaksional tersebut dapat difahami, bahwa pertama dan terutama rangkaian pembangunan manusia haruslah bersifat ruhiyyah. Mempersiapkan manusia-manusia beriman yang hatinya dipenuhi dengan ‘obat’ Al-Quran dan penuh khasyyah (takut) kepada Allah. Sebab ketaqwaan dibangun di dalam hati yang kemudian mampu menggerakkan diri dan masyarakatnya untuk menjaga nyawa, harta, keturunan yang tindakannya itu disandarkan pada aturan dan undang-undang Ilahi yang termaktub dalam Al-Quran-Al-Sunnah, bukan disandarkan pada keterbatasan rasionalitas yang puncaknya tergambar dalam poin-poin human rights yang didengungkan oleh liberalisme!

Namun demikian, shaum hanyalah dilakukan “…dalam hari-hari yang telah ditentukan!”. Islam bukanlah agama mistis yang menghendaki penyucian jiwa yang terasing dari realitas kehidupan. Bahkan shaum haram jika dilakukan setiap hari. Islam adalah agama yang seimbang. Jika di malam hari, seorang muslim bagaikan rahib yang membenci urusan dunia, maka di siang hari ia bagaikan singa yang mengatur seluruh persoalan dunia dengan aturan Allah SWT! Jika kumandang adzan jum’ah terdengar, seorang muslim segera meninggalkan seluruh transaksi keduniaannya untuk menghadap Allah, maka setelah jum’at ia dituntut untuk menjadi pedagang-pebisnis yang jujur dan be bekerja keras.


Jika di bulan ramadhan seorang muslim dituntut seperti rahib yang menjauhi dunia yang puncaknya I’tikaf di mesjid –menjauhi aktivitas harian dan tidak bergaul dengan istri, maka pada bulan syawal ia bersegera mengatur persoalan dunianya sebagai bekal akhiratnya! Bahkan diriwayatkan Rasulullah melakukan beberapa kali peperangan di bulan Ramadhan, salah satunya yaitu perang yang sangat terkenal, perang Badr. Namun betapapun wajibnya Ramadhan, Islam tetap menjaga kehidupan di dalamnya sehingga diberikan keringan untuk tidak melaksanakan shaum bagi yang berada dalam perjalanan, orang sakit dan orang-orang yang tidak berdaya ditelan usia atau madharat lainnya.


Bulan Ramadhan adalah bulan diturunkannya Al-Quran, yaitu sebagai undang-undang manusia, penjelas undang-undang itu sendiri, dan pemisah antara yang hak dan bathil. Al-Quran dan segala syari’atnya ini diturunkan bukan untuk mempersulit manusia, bukan untuk membebani manusia, dan bukan pula memberinya kehidupan prosdedural-birokratis. Al-Quran diturunkan sebagai pedoman hidup dari kegelapan, kebodohan, kesesatan menuju kehidupan yang penuh cahaya, penuh kecerdasan dan kesadaran. Al-Quran mempermudah pencarian kebenaran sejak Nabi Ibrahim alaih al-salâm yang mencarinya di ufuk langit dalam bulan dan bintang-bintang.


Al-Quran memberikan kriteria baik-buruk, manfaat-tidak manfaat, benar-salah, penting-tidak penting dan lain sebagainya –sebuah tema klasik yang banyak diperbicangkan filosof moral. Al-Quran menegaskan tentang apa yang disebut ilmu, bagaimana mencari ilmu, untuk apa mencari ilmu, dan siapakah mereka yang disebut-sebut sebagai orang berilmu –tema lain yang juga dicari tanpa hasil oleh filosof ilmu sepanjang masa. Al-Quran juga memperbincangankan bagaimanakah model masyarakat yang beradab dan bagaimana pula masyarakat yang biadab. Kemudian Al-Quran memperbincangkan tema-tema itu dalam bentuk tashawwur (konsepsional), undang-undang dan produk hukum, perjalanan sejarah, hingga petunjuk pelaksanaan dan teknisnya. Kesemuanya itu Al-Quran ungkapkan dalam redaksi yang tiada taranya, baik satu ungkapan dengan penuh makna atau satu makna dalam berbagai ungkapan. Al-Quran mengungkapnya satu, dua atau beberapa kali dengan beribu tujuan atau mengungkap satu tujuan dan visi dalam beberapa ungkapan yang berbeda-beda.


Oleh sebab itu tidak sempurna takbir seseorang terhadap Allah jika masih menyisakan ketakaburan dalam diri. ketika ia tidak melaksanakan undang-undang Allah ( Al-Quran ) dengan kompresensif dalam kehidupan sosial ataupun ritual. Lalu di manakah Allah? Bukankah manusia tahu –setelah melalui ilmu dan hidayah Al-Quran, bahwa kewajiban bagi orang-orang beriman senantiasa tunduk kepada Allah dan RasulNya tanpa ragu-ragu ( Haqul Yakin ) dengan melaksanakan syariatNya.

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ ال

Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tصَّادِقُونَidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah, mereka itulah orang-orang yang benar. ( QS.49:15 )

Demikianlah makna takbir setelah Ramadhan. Selain mengangungkannya dengan lafadz Allahu Akbar! hingga khatib hendak melaksanakan shalat ‘Ied, mengagungkan Allah adalah dengan menyadarkan diri bahwa syari’at yang telah Allah tetapkan mesti di direalisasikan dg seluas-luasnya ( Kaffah ) karena Syariat Allah bukanlah untuk mempersulit kehidupan manusia, namun justru untuk menuntunnya pada kemudahan dan kemaslahatan. Takbir adalah identitas kemusliman kita. Takbir adalah tugas yang mesti kita wujudkan dalam diri, keluarga, masyarakat, dan seluruh penghuni dunia! Wa Allâhu a’lamu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar